Pada hari Jum’at tanggal 9 November 1945, suasana kota Surabaya mencekam. Selebaran yang dijatuhkan dari pesawat terbang melintasi kota saat Sekutu mengirimkan ultimatum mereka. Ultimatum itu termasuk seruan gencatan senjata untuk semua pejuang kemerdekaan.
Sebelumnya, pada 30 Oktober 1945, Jenderal Sekutu Malabi ditembak mati dalam baku tembak di luar gedung Intel. Mengetahui hal itu, pasukan sekutu marah dan menuduh tentara Indonesia menembak Malabar.
Kemarahan sekutu atas kematian Malabi dipicu oleh kedatangan 6.000 tentara Inggris bersenjata lengkap di Surabaya pada 10 November 1945, yang terdiri lebih dari 130.000 pemuda Indonesia, 20.000 anggota Partai Rakyat Indonesia (PRI), dan 10.000 Departemen Keamanan Rakyat (TKR). pertempuran besar-besaran di Surabaya melawan Hampir 100.000 anggota menyatukan orang.
Menurut History of Modern Indonesia oleh Merle C Calvin, sekitar 1300 antara 6.000 dan 16.000 prajurit Indonesia tewas dalam pertempuran dan 200.000 warga sipil melarikan diri dari Surabaya. Karena itulah tanggal 10 November kami tetapkan sebagai Hari Pahlawan untuk memperingati mereka yang gugur membela Indonesia.
Tetapi hanya sedikit orang yang tahu bahwa ada lima fakta aneh yang tersembunyi di balik perjuangan yang intens ini.
1. Juara pertama dalam menembak
Beberapa orang hanya mengetahui bahwa pertempuran terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November.Tahukah Anda di mana baku tembak pertama terjadi?
Dalam buku berjudul Pertempuran Surabaya milik Nugroho Notossanto, kontak senjata pertama antara pasukan koalisi dan pemuda Indonesia terjadi di teater atau bioskop Sampoerna dan di pabrik teh dan tembakau Liem Singh. Saat ini, situs tersebut dikenal dengan nama Sampoerny House (HOS) dan merupakan tujuan wisata sejarah dan budaya di Surabaya.
Bangunan yang dulunya digunakan sebagai Teater Sampoerna ini berubah fungsi menjadi Museum Sejarah Teater Keliling. Sedangkan rokok kretek diproduksi di lantai dua gedung tersebut pada tahun 1913.
2. Ada bendera Belanda yang sobek
Bendera Belanda merah putih biru di Hotel Yamato Surabaya dirusak pemuda Indonesia menjadi merah putih. Kejadian ini konon menjadi salah satu penyebab pecahnya perang di Surabaya pada tanggal 10 November 1945.
Sebelumnya dikenal sebagai Orangee, hotel ini masih ada dan berganti nama menjadi Hotel Majapahit pada tahun 1969. Saat ini, bangunan tersebut berfungsi sebagai hotel sekaligus butik dengan banyak memorabilia bersejarah.
3. Anak muda Surabaya menguasai gudang senjata Jepang sebelum perang
Berlokasi di Jalan Tidar No. 115, Petemon, Sawahan, Surabaya, Gedung ini menjadi saksi kisah anak-anak Suroboyo yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebuah bangunan bergaya Belanda bernama Don Bosco digunakan sebagai gudang senjata Jepang.
Sebelum tragedi 10 November, para pemuda Indonesia menyadari bahwa senjata mereka jauh tertinggal dari pasukan koalisi. Beberapa pemuda Surabaya yang terdiri dari mahasiswa dan warga sekitar mengepung Don Bosco. Belakangan, tiga pemuda Subianto Notwaldho, Mamahit dan jurnalis Sutomo (Bung Tomo) mendatangi Mayor Hashimoto untuk berunding dan menyerahkan senjata kepada rakyat Indonesia.
Tak butuh waktu lama bagi Kapolres Mo Jasin dan komplotannya Hajimoto untuk mengantarkan gudang senjata tersebut ke Indonesia. Sebagian senjata ini dikirim ke berbagai kota di Jawa Tengah dan Jakarta, dan sebagian lagi digunakan untuk melawan pasukan Sekutu pada 10 November 1945.
4. Teriakan “Allahu Akbar” oleh Bunga Tomo.
Untuk menjaga semangat perlawanan terhadap Sekutu, pria bernama asli Sutmo ini mendirikan stasiun radio “Radio Pemberontakan” dan mulai mengudara pada 16 Oktober 1945.
Saat berpidato, Bung Tomo selalu menggunakan tanda seru “Allahu Akbar” di awal dan akhir pidatonya. Hal itu dilakukan pada 10 November 1945 sebagai kode untuk bergabung dengan Kiai dan Santori dalam perang melawan Sekutu.
“Tuhan selamatkan kita semua. Allah Akbar! Allah Akbar! Allah Akbar! Kebebasan!”
5. Kiai ikut serta dalam Perang Surabaya.
Kiai Abbas lulusan Buntet Cirebon, sebuah pesantren, dan menjadi salah satu pemain kunci dalam Perang Surabaya. Pada 10 November 1945, Kiay Abbas menjadi Panglima Angkatan Darat. Tak hanya itu, putra Kiai Abdul Jamil juga memboyong santri untuk membela tanah airnya.
Kiai Abbas melafalkan latihan ini sebanyak tiga kali untuk dihafal santrinya sebelum berangkat berperang. Hanya 80 dari ratusan siswa yang lulus. Lulusan mampu berperang melawan Sekutu dan Jenderal Malabar. Akhirnya, Malaby ditembak mati oleh seorang siswa.